Selasa, 06 Desember 2011


dakwatuna.com - Saatnya untuk menikah, kata-kata itulah yang kali ini terngiang-ngiang selalu di pikirannya, memenuhi relung hatinya, dan merasuki berbagai macam kegiatan yang ia lakukan.
Menikah, sebuah fitrah yang memang Allah ciptakan untuk menjadikan ketenangan bagi manusia. Ialah yang merupakan sebuah labuhan hati untuk jiwa-jiwa yang rindu akan kesucian cinta dan hakikinya hubungan manusia dengan Tuhannya. Menikah bukan hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu atau keinginan untuk bersama antara dua insan saja, tapi lebih kepada sebuah jalan bagi para pembangun peradaban. Pernikahanlah yang menjadi sebuah titik tolak awal kebangkitan umat. Pernikahan yang baik dan suci serta pendidikan keluarga yang tarbawi-lah yang menjadi momentum yang akan membawa energi perubahan di masa mendatang.
Menikah bukanlah hal yang sederhana namun pula tak pantas untuk membuatnya menjadi kompleks yang akhirnya menghilangkan makna keindahannya. Menikah akan mempertemukan dua manusia yang memiliki karakteristik jiwa yang berbeda satu sama lainnya namun memiliki ketertarikan yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata biasa, sekalipun oleh para pujangga. Ia seolah seperti sebuah energi yang tersimpan kuat di dalam dada setiap manusia, terkadang tenang, terkadang bergolak, dan akhirnya ingin bertemu pada muara yang sama.
Sebuah jiwa yang telah resah di hari-harinya seolah seluruh dunianya telah berubah karena ia seperti kehilangan separuh hatinya. Sebenarnya bukan kehilangan tepatnya, namun ia hanya belum menemukan. Puisi-puisi, syair-syair, bahkan nasihat dari para bijak bestari pun tak lagi memiliki arti bagi para jiwa yang sudah tak kuasa ‘tuk segera menggenapkan diri.
“Lalu, apa? Apa yang sebaiknya aku lakukan?”
Rasulullah saw pernah bersabda, “Tak ada yang bisa dilihat lebih indah dari orang-orang yang SALING MENCINTAI seperti halnya PERNIKAHAN” (HR. Al Hakim).
Cinta antara dua manusia, antara dua jiwa yang berbeda namun entah mengapa tiba-tiba mereka memiliki frekuensi yang sama, harus bermuara dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, tak ada lagi tawaran lain selain pernikahan. Hubungan-hubungan palsu duniawi yang lemah tidak akan pernah mampu menggantikan ajeg dan kokohnya tali cinta dalam pernikahan.
Sekali lagi, mari ingatlah, pernikahan bukanlah hal yang mudah namun tidak pantas pula untuk mempersulitnya. Banyak yang ragu dan enggan untuk memulai. Bisa disebabkan karena kondisi keuangan, kondisi pribadi, hingga kondisi keluarga. Seorang pemuda yang telah jatuh hati pada wanita idamannya hanya akan memiliki dua pilihan, meminang wanita itu hingga akhirnya menikah, atau izinkan laki-laki shalih
lainnya untuk meminangnya. Dia tak bisa memberikan janji-janji pemenuh kebutaan syahwat yang pada akhirnya hanya akan menyakiti kedua belah pihak, entah akhirnya mereka benar-benar menikah atau tidak.
Setelah meminang, hanya akan keluar dua kalimat indah yang telah diajarkan oleh manusia paling mulia, Rasulullah saw. Katakan, “Alhamdulillah” jika engkau diterima, dan gelorakan, “Allahu Akbar” jika pinanganmu ditolaknya, sederhana. Sederhana pada pelaksanaannya namun hati, hati adalah rongga yang begitu dalam dan memiliki detak dan debar yang tidak sederhana. Maka di sinilah diuji keimanan manusia, apakah ia ridha dengan keputusan Tuhannya, Tuhan yang telah membuat ia dari saat sebelumnya ia bukan apa-apa, Tuhan yang telah memberikan nikmat yang sama sekali tidak mampu terhitung jumlahnya, dan tentu saja Tuhan yang telah menyematkan cinta yang begitu indah di dalam hatinya, atau ia merasa kecewa, tidak ikhlas, hingga akhirnya gerutu dan umpatan keluar dari lidah dan lisannya.
Sungguh kawan, cinta dua insan tidaklah mampu disembunyikan. Layaknya Abdullah bin Abu Bakar dan istrinya Atikah. Kenikmatan dan indahnya cinta yang akhirnya mereka rasakan dalam pernikahan membuat Abdullah lalai akan mengingat Tuhannya, bahkan hingga syuruq pun belum terlihat batang hidungnya di antara para jamaah shalat subuh. Maka, Abu Bakar, ayahnya, meminta untuk menceraikan istrinya. Perasaan apa yang ada di hatinya? Wanita yang begitu ia cintai, yang akhirnya ia dapatkan dengan cara halal dan suci harus ia lepaskan begitu saja! Siapa?! Siapa?! Siapa yang tidak akan menangis begitu dalam ketika harus menerima kenyataan ini. Siapa yang tidak akan menggubah syair yang memilukan jika harus menghadapi ini? Tetapi, perintah orang tua-lah yang ia utamakan, karena ia tahu ridha Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka orang tua.
Hari-hari kedua insan itu hanya dilalui seolah dua orang pesakitan yang tidak lagi memiliki harapan hidup, karena sebagian jiwa mereka hilang dan tidak mampu tergantikan kecuali kembali digenapkan. Akhirnya, Allah mengizinkan untuk mereka berkumpul kembali dalam siraman ridha Illahi.
Kawan, pernikahan membutuhkan persiapan. Ada dua hal mendasar yang memiliki batas yang hampir-hampir saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu antara menyegerakan dan tergesa-gesa. Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba`ah, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farji…“(HR. Bukhari dan Muslim).
Apakah itu ba’ah wahai saudaraku? Ibnu Qayyim al-Jauziy berkata bahwa ba’ah adalah kemampuan biologis untuk berjima’. Namun, beberapa ulama ada yang menambahkan bahwa ba’ah adalah mahar (mas kawin), nafkah, juga penyediaan tempat tinggal. Kita tak mampu menutup mata dari berbagai kebutuhan yang harus terpenuhi ketika dua insan telah menyatu di dalam pernikahan.
Ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan menuju pernikahan. Sebuah bekal yang akan mempermudah dua insan untuk berjalan di jalur yang sama dalam pernikahan.
1. Persiapan ruhiyah
Saat pernikahan hanyalah memiliki satu niat, untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhannya, sehingga Allah akan berkenan untuk meridhainya. Niat paling murni dan penuh keikhlasan dari seorang hamba. Dengan niat yang lurus ini seseorang akan yakin dan percaya bahwa Allah hanya akan memberikan yang terbaik untuknya, yang terbaik, yang terbaik, sekali lagi, yang terbaik. Tidak ada pilihan lainnya. Tentu saja hal ini tidak akan datang begitu saja, melainkan melalui proses perbaikan diri, perbaikan kualitas ibadah, dan pemurnian hati.
2. Persiapan ilmu
Saat dua paradigma berpikir disatukan, maka ia akan menemui benturan dan adu argumen antara keduanya. Persiapan ilmu dibutuhkan untuk mempersiapkan dan menyelaraskan perbedaan pandangan yang akan ditemukan ketika dua insan telah berada pada bahtera yang sama. Tanpa persiapan ilmu yang cukup, yang ada hanya pertengkaran dan tidak adanya pengertian antara yang satu dengan yang lainnya.
3. Persiapan fisik
Adalah cinta membutuhkan energi untuk hidup dan tetap menyala, maka seperti itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Adalah bodoh ketika seorang suami hanya memberikan cinta tanpa menafkahi istri dan anak-anaknya. Cinta bukanlah khayalan dan fatamorgana, namun cinta adalah kenyataan yang dihadapi di depan mata. Fisik keduanya harus kuat, baik untuk membangun cinta juga untuk membangun keluarga. Hingga akhirnya cinta akan tetap hidup dalam bahtera keduanya.
4. Mengenal calon pasangan
Kenali ia dengan bertanya kepada keluarga atau orang yang shalih dan dapat dipercaya. Berjalan dengan mata tertutup adalah kebodohan yang nyata yang akan membawa mudharat baginya. Maka, lihat dan kenalilah calon pasanganmu dan berdoalah agar Allah memberikan yang terbaik untukmu. Satu hal yang perlu diingat kawan! Mengenal pasangan bukanlah dengan engkau berjalan berdua dengannya memadu cinta kasih yang sama sekali Allah haramkan hubungannya. Sama sekali tidak! Dengan itu kau hanya belajar menjadi kekasih yang baik, bukan istri/suami yang baik. Percayalah, pernikahan tak sama dengan hubungan semu yang sedang kau jalin bersamanya. Saat kau menikah tetap akan ada hal-hal baru yang sama sekali tidak kau ketahui dan itu jauh berbeda. Jika hasilnya sama, mengapa memilih jalan yang penuh duri dan sama sekali tidak mengandung ridha-Nya?
5. Lurusnya niat
Meskipun telah disinggung pada poin pertama, namun lurusnya niat bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Ia harus terhindar dari riya’ dan sum’ah, dari dengki dan iri, dan dari berbagai sifat yang merusak hati serta merusak hubungan dengan Tuhannya. Karena segala sesuatu berawal dan berakhir dari niatnya.
Cinta bukanlah satu hal pasif yang tidak membutuhkan energi dan pengorbanan untuk meraihnya namun ia adalah energi yang membutuhkan kerja keras dan berbagai pengorbanan, membutuhkan keikhlasan dan jernihnya hati, dan membutuhkan penyerahan diri pada pemilik cinta yang hakiki.
Biarlah cintamu tumbuh berkembang, akarnya menghujam bumi, daunnya berdesir mengikuti alunan angin, dan buahnya manis, serta bunganya indah merona, karena kau serahkan segalanya kepada Allah, Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/16923/saatnya-untuk-menikah/#ixzz1flPf1bln

Senin, 05 Desember 2011

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

Oleh : Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

Pendahuluan
Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari
al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum. Islam, khususnya para
mujtahid dan fuqoha mentranformasi melalui berbagai formulasi kewarisan sesuai dengan
pendapatnya masing-masing.
Yang sama pengertiannya dengan dengan waris adalah faroid yang
menurut bahasa adalah kadar atau bagian, oleh karena itu hukum waris sama
dengan hukum faroid. Dalam tulisan ini, akan dibahas "Azas-azas Hukum waris
dalam Islam" yang bersumber dan pendapat para ulama' dan pakar hukum Islam termasuk yang
diambil dari berbagai Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris Islam seperti Hukum Kewarisan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. I tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991), adanya ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2 alinea keenam, “ sehubungan dengan hal tebut, para pihak yang berperkaradapat mempertimbangakanuntuk memilih ukumapa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus oleh UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat
dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi :

1. Azas Integrity : Ketulusan
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung
pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan
hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari keimanan seseorang untuk mentaati hukum Allan SWT, apalagi penjelasan umum angka 2 alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum waris mana yang akan dipergunakan- dalam menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Penghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi orang Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada ahirnya ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang terbaik,landasan kesadarannya adalah firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 85 :
”Barang siapa menuntut agama selain Islam, maka tiadalah diterima dari padanya, sedang dia di akhirat termasuk orang-orang merugi”

2. Azas Ta' abbudi : Penghambaan diri
Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum
Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila
ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan
demikian dapat kita lihat, setelah Allah SWT menjelaskan tentang hukum waris secara
Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11 dan 12, kemudian dikunci
dengan ayat 13 dan 14 :
”Demikianlah Batas-Batas (peraturan) Allah. Barangsiapa mengikut (perintah)
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam surga yang
mengalir air sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang besar" (an-Nisa'-13).
“Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melampaui Batas-Batas
(larangan)-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam neraka, serta kekal di
dalamnya, dan untuknya siksaan yang menghinakan" (an-Nisa'- 14).




3. Azas Hukukul Maliyah : Hak-hak Kebendaan
Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti
bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada
ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi :

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak

4. Azas Hukukun Thabi’iyah : Hak-Hak Dasar
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai
manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni : hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama. Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping (saudara).Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa macam penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173 yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat”.

5. Azas Ijbari : Keharusan, kewajiban
Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan. Azas Ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain yaitu
a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
b. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti
yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.

6. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 :
”Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan
ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian
yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).


Dalam surat an-Nisa' ayat 11 :
”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang
laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu
perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari
peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk musing-masingnya seperenam dari
peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai
anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga,
tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya
seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-
hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (an-Nisa'-11 ).

Selanjutnya surat an-Nisa' ayat 12 :
”Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi
jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah
dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu
meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu,
jika kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka
untuk mereka seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat
yang kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan
yang diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara
seibu laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam.
Kalau mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat
pada sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-
hutangnya, tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat
(perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(an-Nisa'-
12).

Dalam surat yang sama ayat 176 :
“Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah: Allah
memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal tak
ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk saudara
perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki juga
mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara perempuan
itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua pertiga dari
peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang saudara, laki-laki
dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang
perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat.
Allah Maha mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-176).

7. Azas Individual : Perorangan
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli
waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Azas Individual ini dapat
dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 :
“Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan
ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai
bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).

Dalam surat an-Nisa ayat 8 :
“Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib kerabat (yang tidak
mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang orang miskin, berilah mereka
itu sekedamya dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik (an-Nisa'-8)

Kemudian surat an-Nisa' ayat 33 :
“Untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami adakan ahli waris dari
peninggalan ibu dan bapak dan karib kerabat yang terdekat dan orang-orang
yang telah bersumpah setia kepada kamu, maka hendaklah kamu berikan kepada
mereka bagiannya masing-masing. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas tia-
tiap sesuatu” (an-Nisa'-33).

Begitu juga surat an-Nisa' ayat 11 :
”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang
laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu
perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari
peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari
peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai
anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga,
tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya
seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-
hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menngetahui lagi Maha
Bijaksana (an-Nisa'-11 ).

Surat an-Nisa' ayat 12 :
“Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi
jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah
dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu
meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu, jika
kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka untuk
mereke seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat yang
kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan yang
diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara seibu
laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam. Kalau
mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat pada
sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-
hutangnya, tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat
(perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (an-
Nisa'- 12).

Surat An-Nisa ayat 176 :
”Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah : Allah
memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal
tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk
saudara perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki
juga mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara
perempuan itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua
pertiga dari peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang
saudara, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama
bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu
jangan tersesat. Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-1.76).

8. Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang
harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 8
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan” (Qs. 2:233)

Begitu juga pada surat At-Talaaq ayat 7 :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. 65:7)

Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari
persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak.
Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan,
sesungguhnya apa yang diperoleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta
warisan manfaatnya akan sama mereka rasakan.

9. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia.
Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, kewarisan Islam adalah kewarisan yang menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisanatas dasar wasiat yang disebut testamen.


10. Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari
penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian
dengan cara : Menentukan siapa yang menjadi Ahli waris dengan bagiannya masing-
masing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.
Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris
lebih besar dari masalah yang ditetapkan, atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimanajumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang ditetapkan,telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan sebagaimanadiatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Aul dan Rad pasal 192 berbunyi :
Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut dinaikkan
sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul
menurut angka pembilang.
Pada pasal 193 berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih.kecil dari pada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka angka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedangkansisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.

Penutup
Dari sepuluh azas Hukum Kewarisan dalam Islam tidak terdapat yang berkaitan dengan azasperdamaian, walaupun memang Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersifat mengatur(regelen), tidak bersifat mutlak (dewingend) dalam arti para pihak dimungkinkan untukmembagi warisan di luar ketentuan itu, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak masing-masing. Akan tetapi karena ketentuan hukum waris dalam Islam dalam pelaksanaannyamerupakan pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai salah satu bentuk ibadah, maka penyimpangan terhadap ketentuan waris secara Islam semestinya tidak terjadi, sebab bila terjadi, maka termasuk orang yang merugi. Jalan keluarnya agar kita tidak merugi adalah : selesaikan dahulu pembagian waris secara
Islam, kemudian setelah kita terima bagiannya atau sekurang-kurangnya sudah tahu bagian kita, barulah kita serahkan kepada pihak lain bagian itu baik kepada orang tua, saudara atau lainnya dalam bentuk shadaqoh, hibah atau hadiah. Dengan demikian kita sudah melakukan dua macam ibadah kepada Allah SWT dalam objek yang sama; yaitu dengan cara membagi waris secara Islam dan memberi shadaqoh kepada orang lain. Keduanya merupakan bagian dariibadah kepada Allah SWT.
Demikian, semoga Allah SWT selalu membimbing kepada kita semua. Amin.


Yogyakarta, 8 Juli 2008